Memupuk Percaya diri
Pernahkah anda mengalami
krisis kepercayaan diri atau dalam bahasa sehari-hari "tidak pede"
dalam menghadapi suatu situasi atau persoalan? Saya yakin hampir setiap orang
pernah mengalami krisis kepercayaan diri dalam rentang kehidupannya,
sejak masih anak-anak hingga dewasa bahkan sampai usia lanjut. Ruang
konseling di website inipun banyak diwarnai dengan pertanyaan seputar
kasus-kasus yang berhubungan dengan krisis kepercayaan diri tersebut. Sudah tentu,
hilangnya rasa percaya diri menjadi sesuatu yang amat mengganggu, terlebih
ketika dihadapkan pada tantangan atau pun situasi baru. Individu sering berkata
pada diri sendiri, “dulu saya tidak penakut seperti ini....kenapa sekarang jadi
begini ?” ada juga yang berkata: "kok saya tidak seperti dia,...yang
selalu percaya diri...rasanya selalu saja ada yang kurang dari diri saya...saya
malu menjadi diri saya!”
Menyikapi kondisi
seperti tersebut diatas maka akan muncul pertanyaan dalam benak kita: mengapa
rasa percaya diri begitu penting dalam kehidupan individu. Lalu apakah
kurangnya rasa percaya diri dapat diperbaiki sehingga tidak menghambat
perkembangan individu dalam menjalankan tugas sehari-hari maupun dalam hubungan
interpersonal. Jika memang rasa kurnag percaya diri dapat diperbaiki,
langkah-langkah apakah yang harus dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang
akan saya jawab dalam artikel ini.
Kepercayaan Diri
Kepercayaan diri adalah sikap positif seorang individu yang memampukan
dirinya untuk mengembangkan penilaian positif baik terhadap diri sendiri
maupun terhadap lingkungan/situasi yang dihadapinya. Hal ini bukan
berarti bahwa individu tersebut mampu dan kompeten melakukan segala sesuatu
seorang diri, alias “sakti”. Rasa percaya diri yang tinggi sebenarnya hanya
merujuk pada adanya beberapa aspek dari kehidupan individu tersebut dimana ia
merasa memiliki kompetensi, yakin, mampu dan percaya bahwa dia bisa – karena
didukung oleh pengalaman, potensi aktual, prestasi serta harapan yang realistik
terhadap diri sendiri.
Karakteristik
Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang percaya diri
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang mempunyai rasa percaya diri
yang proporsional, diantaranya adalah :
- Percaya akan kompetensi/kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan
pujian, pengakuan, penerimaan, atau pun rasa hormat orang lain
- Tidak terdorong untuk menunjukkan sikap konformis demi diterima oleh
orang lain atau kelompok
- Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain – berani menjadi
diri sendiri
- Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan
emosinya stabil)
- Memiliki internal locus of control (memandang
keberhasilan atau kegagalan, tergantung dari usaha diri sendiri dan tidak
mudah menyerah pada nasib atau keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan
bantuan orang lain)
- Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, ornag lain
dan situasi di luar dirinya
- Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika
harapan itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya
dan situasi yang terjadi.
Karakteristik atau ciri-ciri Individu yang kurang
percaya diri
Beberapa ciri atau karakteristik individu yang kurang percaya diri,
diantaranya adalah:
- Berusaha menunjukkan sikap konformis, semata-mata demi mendapatkan
pengakuan dan penerimaan kelompok
- Menyimpan rasa takut/kekhawatiran terhadap penolakan
- Sulit menerima realita diri (terlebih menerima kekurangan dir) dan
memandang rendah kemampuan diri sendiri – namun di lain pihak memasang
harapan yang tidak realistik terhadap diri sendiri
- Pesimis, mudah menilai segala sesuatu dari sisi negatif
- Takut gagal, sehingga menghindari segala resiko dan tidak berani
memasang target untuk berhasil
- Cenderung menolak pujian yang ditujukan secara tulus (karena undervalue diri
sendiri)
- Selalu menempatkan/memposisikan diri sebagai yang terakhir, karena
menilai dirinya tidak mampu
- Mempunyai external locus of control (mudah menyerah
pada nasib, sangattergantung pada keadaan dan pengakuan/penerimaan serta
bantuan orang lain
Perkembangan Rasa Percaya Diri
Pola Asuh
Para ahli berkeyakinan bahwa kepercayaan diri bukanlah diperoleh secara
instant, melainkan melalui proses yang berlangsung sejak usia dini, dalam
kehidupan bersama orangtua. Meskipun banyak faktor yang mempengaruhi
kepercayaan diri seseorang, namun faktor pola asuh dan interaksi di usia dini,
merupakan faktor yang amat mendasar bagi pembentukan rasa percaya diri.Sikap
orangtua, akan diterima oleh anak sesuai dengan persepsinya pada saat itu.
orangtua yang menunjukkan kasih, perhatian, penerimaan, cinta dan kasih sayang
serta kelekatan emosional yang tulus dengan anak, akan membangkitkan rasa
percara diri pada anak tersebut. Anak akan merasa bahwa dirinya berharga dan
bernilai di mata orangtuanya. Dan, meskipun ia melakukan kesalahan, dari sikap
orangtua anak melihat bahwa dirinya tetaplah dihargai dan dikasihi. Anak
dicintai dan dihargai bukan tergantung pada prestasi atau perbuatan baiknya,
namun karena eksisitensinya. Di kemudian hari anak tersebut akan tumbuh menjadi
individu yang mampu menilai positif dirinya dan mempunyai harapan yang
realistik terhadap diri – seperti orangtuanya meletakkan harapan realistik
terhadap dirinya.
Lain halnya dengan orangtua yang kurang memberikan perhatian pada anak,
atau suka mengkritik, sering memarahi anak namun kalau anak berbuat baik tidak
pernah dipuji, tidak pernah puas dengan hasil yang dicapai oleh anak, atau pun
seolah menunjukkan ketidakpercayaan mereka pada kemampuan dan kemandirian anak
dengan sikap overprotective yang makin meningkatkan
ketergantungan. Tindakan overprotective orangtua, menghambat perkembangan
kepercayaan diri pada anak karena anak tidak belajar mengatasi problem dan
tantangannya sendiri – segala sesuatu disediakan dan dibantu orangtua. Anak
akan merasa, bahwa dirinya buruk, lemah, tidak dicintai, tidak dibutuhkan,
selalu gagal, tidak pernah menyenangkan dan membahagiakan orangtua. Anak akan
merasa rendah diri di mata saudara kandungnya yang lain atau di hadapan
teman-temannya.
Menurut para psikolog, orangtua dan masyarakat seringkali meletakkan
standar dan harapan yang kurang realistik terhadap seorang anak atau pun
individu. Sikap suka membanding-bandingkan anak, mempergunjingkan kelemahan
anak, atau pun membicarakan kelebihan anak lain di depan anak sendiri, tanpa
sadar menjatuhkan harga diri anak-anak tersebut. Selain itu, tanpa
sadar masyarakat sering menciptakan trend yang dijadikan standar patokan sebuah
prestasi atau pun penerimaan sosial. Contoh kasus yang riil pernah terjadi di
tanah air, ketika seorang anak bunuh diri gara-gara dirinya tidak diterima
masuk di jurusan A1 (IPA), meski dia sudah bersekolah di tempat yang elit;
rupanya sang orangtua mengharap anaknya diterima di A1 atau paling tidak A2,
agar kelak bisa menjadi dokter. Atau, orangtua yang memaksakan anaknya ikut les
ini dan itu, hanya karena anak-anak lainnya pun demikian.
Situasi ini pada akhirnya mendorong anak tumbuh menjadi individu yang tidak
bisa menerima kenyataan dirinya, karena di masa lalu (bahkan hingga kini),
setiap orang mengharapkan dirinya menjadi seseorang yang bukan dirinya sendiri.
Dengan kata lain, memenuhi harapan sosial. Akhirnya, anak tumbuh
menjadi individu yang punya pola pikir : bahwa untuk bisa diterima, dihargai,
dicintai, dan diakui, harus menyenangkan orang lain dan mengikuti keinginan
mereka. Pada saat individu tersebut ditantang untuk menjadi diri sendiri –
mereka tidak punya keberanian untuk melakukannya. Rasa percaya dirinya begitu
lemah, sementara ketakutannya terlalu besar.
Pola Pikir Negatif
Dalam hidup bermasyarakat, setiap individu mengalami berbagai masalah,
kejadian, bertemu orang-orang baru, dsb. Reaksi individu terhadap seseorang
atau pun sebuah peristiwa, amat dipengaruhi oleh cara berpikirnya. Individu
dengan rasa percaya diri yang lemah, cenderung mempersepsi segala sesuatu dari
sisi negatif. Ia tidak menyadari bahwa dari dalam dirinya lah semua negativisme
itu berasal. Pola pikir individu yang kurang percaya diri,
bercirikan antara lain:
- Menekankan keharusan-keharusan pada diri sendiri (“saya harus bisa
begini...saya harus bisa begitu”). Ketika gagal, individu tersebut merasa
seluruh hidup dan masa depannya hancur.
- Cara berpikir totalitas dan dualisme : “kalau saya sampai gagal,
berarti saya memang jelek”
- Pesimistik yang futuristik : satu saja kegagalan kecil, individu
tersebut sudah merasa tidak akan berhasil meraih cita-citanya di masa depan.
Misalnya, mendapat nilai C pada salah satu mata kuliah, langsung berpikir
dirinya tidak akan lulus sarjana.
- Tidak kritis dan selektif terhadap self-criticism : suka mengkritik
diri sendiri dan percaya bahwa dirinya memang pantas dikritik.
- Labeling : mudah menyalahkan diri sendiri dan memberikan
sebutan-sebutan negatif, seperti “saya memang bodoh”...”saya ditakdirkan
untuk jadi orang susah”, dsb....
- Sulit menerima pujian atau pun hal-hal positif dari orang lain :
ketika orang memuji secara tulus, individu langsung merasa tidak enak dan
menolak mentah-mentah pujiannya. Ketika diberi kesempatan dan kepercayaan
untuk menerima tugas atau peran yang penting, individu tersebut langsung
menolak dengan alasan tidak pantas dan tidak layak untuk menerimanya.
- Suka mengecilkan arti keberhasilan diri sendiri : senang mengingat dan
bahkan membesar-besarkan kesalahan yang dibuat, namun mengecilkan
keberhasilan yang pernah diraih. Satu kesalahan kecil, membuat individu
langsung merasa menjadi orang tidak berguna.
Memupuk Rasa Percaya Diri
Untuk menumbuhkan rasa percaya diri yang proporsional maka individu harus
memulainya dari dalam diri sendiri. Hal ini sangat penting mengingat bahwa
hanya individu yang bersangkutan yang dapat mengatasi rasa kurang percaya diri
yang sedang dialaminya. Beberapa saran berikut mungkin layak menjadi
pertimbangkan jika anda sedang mengalami krisis kepercayaan diri.
1. Evaluasi
diri secara obyektif
Belajar menilai diri secara obyektif dan jujur. Susunlah daftar “kekayaan”
pribadi, seperti prestasi yang pernah diraih, sifat-sifat positif, potensi diri
baik yang sudah diaktualisasikan maupun yang belum, keahlian yang dimiliki,
serta kesempatan atau pun sarana yang mendukung kemajuan
diri. Sadari semua asset-asset berharga Anda dan temukan asset yang
belum dikembangkan. Pelajari kendala yang selama ini menghalangi perkembangan
diri Anda, seperti : pola berpikir yang keliru, niat dan motivasi yang lemah,
kurangnya disiplin diri, kurangnya ketekunan dan kesabaran, tergantung pada
bantuan orang lain, atau pun sebab-sebab eksternal lain. Hasil analisa dan
pemetaan terhadap SWOT (Strengths, Weaknesses, Obstacles and Threats) diri,
kemudian digunakan untuk membuat dan menerapkan strategi pengembangan diri yang
lebih realistik.
2. Beri
penghargaan yang jujur terhadap diri
Sadari dan hargailah sekecil apapun keberhasilan dan
potensi yang anda miliki. Ingatlah bahwa semua itu didapat melalui proses
belajar, berevolusi dan transformasi diri sejak dahulu hingga kini.
Mengabaikan/meremehkan satu saja prestasi yang pernah diraih, berarti
mengabaikan atau menghilangkan satu jejak yang membantu Anda menemukan jalan
yang tepat menuju masa depan. Ketidakmampuan menghargai diri sendiri, mendorong
munculnya keinginan yang tidak realistik dan berlebihan; contoh: ingin cepat
kaya, ingin cantik, populer, mendapat jabatan penting dengan segala cara. Jika
ditelaah lebih lanjut semua itu sebenarnya bersumber dari rasa rendah diri yang
kronis, penolakan terhadap diri sendiri, ketidakmampuan menghargai diri sendiri
– hingga berusaha mati-matian menutupi keaslian diri.
3. Positive
thinking
Cobalah memerangi setiap asumsi, prasangka atau persepsi negatif yang
muncul dalam benak Anda. Anda bisa katakan pada diri sendiri, bahwa nobody’s
perfect dan it’s okay if I made a mistake. Jangan biarkan
pikiran negatif berlarut-larut karena tanpa sadar pikiran itu akan terus
berakar, bercabang dan berdaun. Semakin besar dan menyebar, makin sulit
dikendalikan dan dipotong. Jangan biarkan pikiran negatif menguasai
pikiran dan perasaan Anda. Hati-hatilah agar masa depan Anda tidak rusak karena
keputusan keliru yang dihasilkan oleh pikiran keliru. Jika pikiran itu
muncul, cobalah menuliskannya untuk kemudian di re-view kembali secara logis
dan rasional. Pada umumnya, orang lebih bisa melihat bahwa pikiran itu ternyata
tidak benar.
4. Gunakan
self-affirmation
Untuk memerangi negative thinking, gunakan self-affirmation yaitu
berupa kata-kata yang membangkitkan rasa percaya diri. Contohnya:
· Saya pasti bisa !!
· Saya adalah penentu dari
hidup saya sendiri. Tidak ada orang yang boleh menentukan hidup saya !
· Saya bisa belajar dari kesalahan ini. Kesalahan
ini sungguh menjadi pelajaran yang sangat berharga karena membantu saya
memahami tantangan
· Sayalah yang memegang kendali hidup ini
5. Berani
mengambil resiko
Berdasarkan pemahaman diri yang obyektif, Anda bisa memprediksi resiko
setiap tantangan yang dihadapi. Dengan demikian, Anda tidak perlu menghindari
setiap resiko, melainkan lebih menggunakan strategi-strategi untuk menghindari,
mencegah atau pun mengatasi resikonya. Contohnya, Anda tidak perlu menyenangkan
orang lain untuk menghindari resiko ditolak. Jika Anda ingin mengembangkan diri
sendiri (bukan diri seperti yang diharapkan orang lain), pasti ada resiko dan
tantangannya. Namun, lebih buruk berdiam diri dan tidak berbuat apa-apa
daripada maju bertumbuh dengan mengambil resiko. Ingat: No Risk, No
Gain.
6. Belajar
mensyukuri dan menikmati rahmat Tuhan
Ada pepatah mengatakan yang mengatakan orang yang paling menderita hidupnya
adalah orang yang tidak bisa bersyukur pada Tuhan atas apa yang telah
diterimanya dalam hidup. Artinya, individu tersebut tidak pernah berusaha
melihat segala sesuatu dari kaca mata positif. Bahkan kehidupan yang dijalaninya
selama ini pun tidak dilihat sebagai pemberian dari Tuhan. Akibatnya, ia tidak
bisa bersyukur atas semua berkat, kekayaan, kelimpahan, prestasi, pekerjaan,
kemampuan, keahlian, uang, keberhasilan, kegagalan, kesulitan serta berbagai
pengalaman hidupnya. Ia adalah ibarat orang yang selalu melihat matahari
tenggelam, tidak pernah melihat matahari terbit. Hidupnya dipenuhi dengan
keluhan, rasa marah, iri hati dan dengki, kecemburuan, kekecewaan, kekesalan,
kepahitan dan keputusasaan. Dengan “beban” seperti itu, bagaimana individu itu
bisa menikmati hidup dan melihat hal-hal baik yang terjadi dalam hidupnya?
Tidak heran jika dirinya dihinggapi rasa kurang percaya diri yang kronis,
karena selalu membandingkan dirinya dengan orang-orang yang membuat “cemburu” hatinya.
Oleh sebab itu, belajarlah bersyukur atas apapun yang Anda alami dan percayalah
bahwa Tuhan pasti menginginkan yang terbaik untuk hidup Anda.
7. Menetapkan
tujuan yang realistik
Anda perlu mengevaluasi tujuan-tujuan yang Anda tetapkan selama ini, dalam
arti apakah tujuan tersebut sudah realistik atau tidak. Dengan menerapkan
tujuan yang lebih realistik, maka akan memudahkan anda dalam mencapai tujuan
tersebut. Dengan demikian anda akan menjadi lebih percaya diri dalam mengambil
langkah, tindakan dan keputusan dalam mencapai masa depan, sambil mencegah
terjadinya resiko yang tidak diinginkan.
Mungkin masih ada beberapa cara lain yang efektif
untuk menumbuhkan rasa percaya diri. Jika anda dapat melakukan beberapa hal
serpti yang disarankan di atas, niscaya anada akan terbebas dari krisis
kepercayaan diri. Namun demikian satu hal perlu diingat baik-baik adalah
jangan sampai anda mengalami over confidence atau rasa percaya diri
yang berlebih-lebihan/overdosis. Rasa percaya diri yang overdosis
bukanlah menggambar kondisi kejiwaan yang sehat karena hal tersebut merupakan
rasa percaya diri yang bersifat semu.
Rasa percaya diri yang berlebihan pada umumnya tidak
bersumber dari potensi diri yang ada, namun lebih didasari oleh tekanan-tekanan
yang mungkin datang dari orangtua dan masyarakat (sosial), hingga tanpa sadar
melandasi motivasi individu untuk “harus” menjadi orang sukses. Selain itu,
persepsi yang keliru pun dapat menimbulkan asumsi yang keliru tentang diri sendiri
hingga rasa percaya diri yang begitu besar tidak dilandasi oleh kemampuan yang
nyata. Hal ini pun bisa didapat dari lingkungan di mana individu di besarkan,
dari teman-teman (peer group) atau dari dirinya sendiri
(konsep diri yang tidak sehat). Contohnya, seorang anak yang sejak lahir
ditanamkan oleh orang tua, bahwa dirinya adalah spesial, istimewa, pandai,
pasti akan menjadi orang sukses, dsb – namun dalam perjalanan waktu anak itu
sendiri tidak pernah punya track record of success yang riil
dan original (atas dasar usahanya sendiri). Akibatnya, anak
tersebut tumbuh menjadi seorang manipulator dan dan otoriter – memperalat,
menguasai dan mengendalikan orang lain untuk mendapatkan apa yang dia inginkan.
Rasa percaya diri pada individu seperti itu tidaklah didasarkan oleh real
competence, tapi lebih pada faktor-faktor pendukung eksternal, seperti
kekayaan, jabatan, koneksi, relasi, back up power keluarga,
nama besar orangtua, dsb. Jadi, jika semua atribut itu ditanggalkan, maka sang
individu tersebut bukan siapa-siapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar